Indahnya Ramadhan di Srifarida
ABSTRAK
Ramadhan adalah bulan penuh kemuliaan,
yang mana setiap orang akan berlomba-lomba untuk memperbanyak ibadah karena
memang setiap ibadah yang dilakukan dalam bulan ramadhan akan dilipat gandakan.
Diantara amalan yang dianjurkan ketika bulan Ramadhan tiba ialah I’tikaf. I’tikaf
adalah berdiam diri atau tetap di atas sesuatu, yang mana sesuatu yang dimaksud
di sini adalah Masjid. Sesuai dengan pengertian tersebut, sekolah Srifarida
(Thailand) mempunyai budaya untuk mengadakan I’tikaf selama 10 hari terakhir bulan
Ramadhan, suatu hal yang sangat baik dan berbeda dengan kebudayaan I’tikaf di
Indonesia. Yang mana jikalau kebudayaan di Indonesia beri’tikaf pada umumnya
hanya di lakukan beberapa jam di waktu malam saja, akan tetapi di sini
(Srifarida) melakukan I’tikaf selama 10 hari berturut-turut didalam masjid dan
tidak boleh pulang kerumah. Semua kegiatan sehari-hari harus dilakukan di
Masjid dan prioritas utama adalah Ibadah. Selama 10 hari terakhir ini kita
benar-benar bisa mendekatkan diri kepada Allah karena memang kita diharuskan
untuk menetap di Rumah Allah (masjid).
Kata Kunci: Ramadhan, I’tikaf,
Budaya, Islam
1. Pendahuluan
Ramadhan adalah bulan penuh kemuliaan, yang mana
setiap orang akan berlomba-lomba untuk memperbanyak ibadah karena memang setiap
ibadah yang dilakukan dalam bulan ramadhan akan dilipat gandakan. Diantara
amalan yang dianjurkan ketika bulan Ramadhan tiba ialah I’tikaf. Disekolah
Srifarida Baru Witya ada sebuah kebiasaan atau budaya melakasanakan I’tikaf di
setiap 10 hari terakhir bulan Ramadhan.
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan
dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke
generasi. Budaya terbentuk dari banyak
unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat
istiadat, bahasa,
perkakas, pakaian, bangunan, dan
karya seni.
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat.
Melville
J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang
terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh
masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism.
Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu
generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic.
Menurut
Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial,norma
sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius,
dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang
menjadi ciri khas suatu masyarakat.
Menurut
Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di
dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat
istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota
masyarakat.
Menurut
Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya,
rasa, dan cipta masyarakat. Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh
pengertian mengenai kebudayaan adalah sesuatu yang akan memengaruhi tingkat
pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran
manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak.
Sedangkan
perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai
makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata,
misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial,
religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia
dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
Dengan
melihat definisi-definisi yang ada, maka kebudayaan bisa terbentuk dari Budaya
keagamaan. Di dunia ini terdapat banyak
agama, salah satunya yaitu agama Islam. Diantara begitu banyaknya Budaya dalam
agama Islam I’tikaf menjadi sebuah Budaya yang umum dimata masyarakat Islam
Dunia.
Banyak
orang tahu bahwa i’tikaf adalah berdiam diri di masjid. Namun
berdiam diri seperti apakah i’tikaf itu? Apakah sekadar taffakur saja? Atau ada
hal-hal lain yang harus dilakukan? I’tikaf tidak
hanya sekadar berdiam diri saja, bukan berarti seseorang yang berdiam di masjid
itu artinya i’tikaf. Ada rukun-rukun yang mensyaratkan hal tersebut dikatakan
i’tikaf.
2.
Pembahasan
2.1 Pengertian
I’Tikaf
Dalam segi bahasa, i’tikaf berasal dari kata ’akafa-ya’kufu-ukufan yang
berarti berdiam diri atau tetap di atas sesuatu. Sedangkan dalam pengertian
Islam, i’tikaf berarti berdiam diri di masjid sebagai ibadah yang disunahkan
untuk dikerjakan di setiap waktu. I’tikaf ini lebih diutamakan pada bulan
Ramadhan, terutama 10 hari
menjelang berakhirnya Ramadhan untuk memperoleh lailatul qadar, namun
beri’tikaf di hari lain pun tidak akan mengurangi manfaatnya.
Beberapa ulama mendefinisikan i’tikaf dengan sedikit berbeda, misalnya :
-
Maulana Muhammad
Zakariyya Al-Kandahlawi dalam Fadhilah Ramadhan mengatakan bahwa i’tikaf adalah
berdiam di dalam masjid dengan niat i’tikaf.
-
Menurut Sayyid Sabiq
dalam Fikih Sunnah, i’tikaf adalah menetap di suatu tempat dan berdiam diri
tanpa meninggalkan tempat itu, baik untuk melakukan amal kebaikan maupun
kejahatan.
-
Menurut
Al-Marghainani i’tikaf adalah menetap dalam masjid yang disertai puasa dan niat
i’tikaf.
-
Menurut Muhammad bin
Faramuz, i’tikaf adalah menetapnya seorang laki-laki dalam masjid, sendirian
atau berjamaah, atau menetapnya seorang perempuan dalam rumahnya (ruangan
khusus) dengan niat i’tikaf.
I’tikaf disyariatkan
berdasarkan al-Quran dan al-Hadits.
Al-Qur’an surat al-Baqarah (2): 187.
… فَاْلآَنَ
بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى
يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ مِنَ
الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ
وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللهِ فَلاَ تَقْرَبُوهَا
كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ آَيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ.
Artinya: ...maka
sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang ditetapkan
Allah untukmu, dan makan minumlah hinggga terang bagimu benang putih dari
benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang)
malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam
masjid. Itulah larangan Allah, maka jangan kamu mendekatinya. Demikianlah Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertaqwa.” [QS.
al-Baqarah (2):187]
Hadits riwayat Aisyah ra:
أَنَّ النَّبِيَّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ اْلعَشَرَ اْلأَوَاخِرَ مِنْ
رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ
بَعْدِهِ. [رواه مسلم]
Artinya: “Bahwa Nabi saw melakukan
i’tikaf pada hari kesepuluh terakhir dari bulan Ramadhan, (beliau melakukannya)
sejak datang di Madinah sampai beliau wafat, kemudian istri-istri beliau
melakukan i’tikaf setelah beliau wafat.” [HR. Muslim]
2.2 Waktu dan Tempat pelaksanaan I’tikaf
I’tikaf sangat dianjurkan
dilaksanakan setiap waktu di bulan Ramadhan. Di kalangan para ulama terdapat
perbedaan tentang waktu pelaksanaan i’tikaf, apakah dilaksanakan selama sehari
semalam (24 jam) atau boleh dilaksanakan dalam beberapa waktu (saat).
Al-Hanafiyah berpendapat bahwa i’tikaf dapat dilaksanakan pada waktu yang
sebentar tapi tidak ditentukan batasan lamanya, sedang menurut al-Malikiyah
i’tikaf dilaksanakan dalam waktu minimal satu malam satu hari.
Dengan memperhatikan pendapat di atas dapat
disimpulkan bahwa i’tikaf dapat dilaksanakan dalam beberapa waktu tertentu,
misal dalam waktu 1 jam, 2 jam, 3 jam dan seterusnya, dan boleh juga
dilaksanakan dalam waktu sehari semalam (24 jam).
Di dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 187
dijelaskan bahwa i’tikaf dilaksanakan di masjid. Di kalangan para ulama ada
pebedaan pendapat tentang masjid yang dapat digunakan untuk pelaksanaan
i’tikaf, apakah masjid jami’ atau masjid lainnya. Sebagian berpendapat bahwa masjid
yang dapat dipakai untuk pelaksanaan i’tikaf adalah masjid yang memiliki imam
dan muadzin khusus, baik masjid tersebut digunakan untuk pelaksanaan salat lima
waktu atau tidak. Hal ini sebagaimana dipegang oleh al-Hanafiyah (ulama
Hanafi). Sedang pendapat yang lain mengatakan bahwa i’tikaf hanya dapat
dilaksanakan di masjid yang biasa dipakai untuk melaksanakan salat jama’ah.
Pendapat ini dipegang oleh al-Hanabilah (ulama Hambali).
Menurut hemat kami masjid yang dapat dipakai
untuk melaksanakan i’tikaf sangat diutamakan masjid jami (masjid yang biasa
digunakan untuk melaksanakan salat Jum’at) , dan tidak mengapa i’tikaf
dilaksanakan di masjid biasa.
2.3 Cara Beri’tikaf
Beri’tikaf sendiri tidaklah hanya sekadar duduk diam di masjid.
Seperti ibadah yang lain, i’tikaf pun ada cara-caranya seperti yang diajarkan
Rasullah.
a. Niat melakukan i’tikaf harus karena Allah SWT. Misalnya
mengucapkan : aku berniat i’tikaf karena Allah ta’ala
نويت الاعتكاف لله تعالى
b. Saat melakukan i’tikaf bukan berarti kita diam saja dan pikiran kita
melayang ke segala arah, namun i’tikaf diisi dengan dzikir, tafakkur, membaca doa, bertasbih, dan memperbanyak membaca Al-Quran.
c. I’tikaf diutamakan dilakukan setelah shalat subuh seperti hadist :
وعنها رضى الله عنها قالت كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا أراد أن يعتكف
صلى الفجر ثم دخل معتكفة "ـ متفق عليه
"Dan dari Aisyah ra, ia berkata bahwasannya Nabi saw. apabila
hendak ber-I'tikaf beliau shalat subuh kemudian masuk ke tempat I'tikaf."
(H.R. Bukhori, Muslim)
d. Menjauhkan diri dari segala perbuatan yang tidak berguna.
I’tikaf tentu saja memiliki manfaat yang sangat besar bagi yang
melakukannya. Disadari atau tidak, manfaat tersebut akan dirasakan oleh yang
melakukan i’tikaf. Beberapa manfaat i’tikaf :
1. Mendidik kita lebih taat kepada Allah SWT.
2. Akan mudah memerangi hawa nafsu karena seseorang yang berada di masjid
akan merasa lebih waspada di tempat ibadah.
3. Masjid adalah merupakan semacam madrasah, berada di dalamnya untuk
beri’tikaf sudah tentu akan membuat hati kita lebih suci dari hal-hal kotor.
4. Bila dilakukan saat bulan Ramadhan, maka masjid merupakan tempat yang
paling baik mendapatkan lailatul qadar.
5. Sebagai wadah kita dalam merenungi masa lalu dan memikirkan masa depan
lebih baik.
6. Mendatangkan ketenangan dan menerangi hati yang penuh dosa.
7. Mendatangkan kebaikan Allah SWT. Aaaln kita insyaallah diangkat
dengan rahmat dan kasih sayang-Nya.
8. Terbiasa melakukan shalat lima waktu berjamaah tempat waktu karena
berada di masjid.
9. Melatih diri untuk meninggalkan kesibukan dunia demi memenuhi panggilan
Allah SWT.
10. Melatih diri untuk meninggalkan kesenagan jasmani sehingga hati bertambah
khusyuk saat beribadah.
11. Melatih diri dalam meluangkan waktu untuk berdoa, membaca Al-Quran dan
berdzikir dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik.
12. Merupakan waktu yang tepat untuk bertaubat.
2.5 I’tikaf
di Masjid Srifarida Baru Witya School
Seperti yang
telah dipaparkan di atas bahwa I’tikaf adalah berdiam diri atau tetap di atas sesuatu, yang mana sesuatu yang dimaksud
di sini adalah Masjid. Sesuai dengan pengertian tersebut, sekolah Srifarida
(Thailand) mempunyai budaya untuk mengadakan I’tikaf selama 10 hari terakhir
bulan Ramadhan, suatu hal yang sangat baik dan berbeda dengan kebudayaan
I’tikaf di Indonesia. Yang mana jikalau kebudayaan di Indonesia beri’tikaf pada
umumnya hanya di lakukan beberapa jam di waktu malam saja, akan tetapi di sini
(Srifarida) melakukan I’tikaf selama 10 hari berturut-turut didalam masjid dan
tidak boleh pulang kerumah.
Semua kegiatan sehari-hari harus dilakukan di Masjid dan prioritas utama
adalah Ibadah. Selama 10 hari terakhir ini kita benar-benar bisa mendekatkan
diri kepada Allah karena memang kita diharuskan untuk menetap di Rumah Allah
(masjid).
Dengan memperhatikan beberapa
ayat dan hadis Nabi Saw., ada beberapa amalan (ibadah) yang dapat dilaksanakan
oleh orang yang melaksanakan i’tikaf, yaitu;
a. Melaksanakan
salat sunat, seperti salat tahiyatul masjid, salat lail dan lain-lain
b. Membaca
al-Qur’an dan tadarus al-Qur’an
c. Berdzikir
dan berdo’a
d.
Membaca buku-buku agama
e.
Lampu masjid harus redup dalam rangka
kekhusyu’an beri’tikaf, bukan sesuatu yang harus dilaksanakan ketika i’tikaf
karena tidak ada dalil khusus yang menjelaskan tentang hal tersebut.
I’tikaf harus dilakukan di masjid. I’tikaf di
dalam masjid juga dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun
istri-istri beliau, sama sekali tidak pernah dilakukan di rumah. Ibnu
Hajarrahimahullah berkata, “Para ulama sepakat bahwa disyaratkan melakukan
i’tikaf di masjid.” [6] Wanita pun boleh melakukan i’tikaf sebagaimana
laki-laki. I’tikaf tidak sah jika dilakukan selain di masjid.
Wanita juga boleh beri’tikaf.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan istri beliau untuk
beri’tikaf. ‘Aisyahradhiyallahu ‘anha berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ ، وَإِذَا صَلَّى الْغَدَاةَ دَخَلَ
مَكَانَهُ الَّذِى اعْتَكَفَ فِيهِ – قَالَ – فَاسْتَأْذَنَتْهُ عَائِشَةُ
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam biasa beri’tikaf pada Bulan Ramadhan. Apabila
selesai shalat shubuh, beliau masuk ke tempat khusus i’tikaf beliau. Dia (Yahya
bin Sa’id) berkata: Kemudian ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha meminta izin untuk bisa
melakukan I’tikaf bersama beliau, maka beliau pun mengizinkannya.”[14]
Dari ‘Aisyah, ia berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ
اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
“Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam melakukan i’tikaf pada sepuluh hari terakhir Bulan Ramadhan
hingga wafatnya, kemudian isteri-isteri beliau pun beri’tikaf setelah kepergian
beliau.”
Perempuan juga boleh melakukan i’tikaf.
Namun wanita boleh beri’tikaf di masjid asalkan memenuhi 2 syarat:
1) Meminta izin suami
2) Tidak menimbulkan fitnah (godaan bagi laki-laki) sehingga wanita yang
i’tikaf harus benar-benar menutup aurat dengan sempurna dan juga tidak memakai
wewangian.[16]
Lama waktu berdiam di masjid
Para ulama sepakat, tidak ada batasan waktu maksimal melakukan i’tikaf.
Namun mereka berselisih pendapat berapa waktu minimal untuk dikatakan sudah
beri’tikaf.
Bagi ulama yang mensyaratkan i’tikaf harus disertai puasa, waktu
minimalnya adalah sehari. Ulama lainnya mengatakan, dibolehkan kurang dari
sehari, namun tetap disyaratkan berpuasa.
Imam Malik mensyaratkan minimal 10 hari. Imam Malik juga memiliki
pendapat lainnya, minimal 1-2 hari. Sedangkan bagi ulama yang tidak
mensyaratkan puasa, maka waktu minimal dikatakan telah beri’tikaf adalah selama
ia sudah berdiam di masjid dan di sini tanpa dipersyaratkan harus duduk.
Yang tepat dalam masalah ini adalah i’tikaf tidak dipersyaratkan untuk
puasa, hanya disunnahkan. Menurut mayoritas ulama, i’tikaf tidak ada batasan
waktu minimalnya, artinya boleh cuma sesaat di malam atau pada siang hari.
Al Mardawi rahimahullah mengatakan, “Waktu minimal dikatakan i’tikaf
pada i’tikaf yang sunnah atau i’tikaf yang mutlak adalah selama disebut berdiam
di masjid (walaupun hanya sesaat).”
Yang membatalkan i’tikaf
- Keluar masjid tanpa alasan syar’i, dan tanpa ada kebutuhan yang
mubah yang mendesak.
- Jima’ (bersetubuh) dengan istri (berdasarkan Surat Al Baqarah ayat
187). Ibnul Mundzir telah menukil adanya ijma’ (kesepakatan ulama) bahwa
yang dimaksud mubasyaroh dalam Surat Al Baqarah ayat 187 adalah jima’
(hubungan intim).
Yang dibolehkan saat i’tikaf
- Keluar masjid karena ada hajat yang mesti ditunaikan, seperti
keluar untuk makan, minum, dan hajat lain yang tidak bisa dilakukan di
dalam masjid.
- Melakukan hal-hal mubah seperti mengantar orang yang mengunjunginya
sampai pintu masjid atau bercakap-cakap dengan orang lain.
- Istri mengunjungi suami yang beri’tikaf dan berdua-duaan dengannya.
- Mandi dan berwudhu di masjid.
- Membawa kasur untuk tidur di masjid.
Mulai masuk dan keluar masjid untuk i’tikaf
Jika ingin beri’tikaf selama 10 hari terakhir Bulan Ramadhan, maka
seseorang yang beri’tikaf mulai memasuki masjid setelah shalat shubuh pada hari
ke-21, dan keluar setelah shalat shubuh pada hari ‘Idul Fitri menuju lapangan.
Hal ini dijelaskan dalam hadits ‘Aisyah, di mana ia berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ ، وَإِذَا صَلَّى الْغَدَاةَ دَخَلَ
مَكَانَهُ الَّذِى اعْتَكَفَ فِيهِ – قَالَ – فَاسْتَأْذَنَتْهُ عَائِشَةُ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa beri’tikaf pada bulan
Ramadhan. Apabila selesai shalat shubuh, beliau masuk ke tempat khusus i’tikaf
beliau. Dia (Yahya bin Sa’id) berkata: Kemudian ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha meminta
izin untuk bisa beri’tikaf bersama beliau, maka beliau mengizinkannya.” [24]
Namun para ulama madzhab menganjurkan untuk memasuki masjid menjelang
matahari tenggelam pada hari ke-20 Ramadhan. Mereka mengatakan, yang namanya 10
hari terakhir yang dimaksudkan adalah jumlah bilangan malam, sehingga
seharusnya dimulai dari awal malam.
3. Penutup
Dalam segi bahasa, i’tikaf berasal dari kata ’akafa-ya’kufu-ukufan yang
berarti berdiam diri atau tetap di atas sesuatu. Sedangkan dalam pengertian
Islam, i’tikaf berarti berdiam diri di masjid sebagai ibadah yang disunahkan
untuk dikerjakan di setiap waktu. I’tikaf ini lebih diutamakan pada bulan
Ramadhan, terutama 10 hari
menjelang berakhirnya Ramadhan untuk memperoleh lailatul qadar, namun
beri’tikaf di hari lain pun tidak akan mengurangi manfaatnya.
Seperti yang
telah dipaparkan di atas bahwa I’tikaf adalah berdiam diri atau tetap di atas sesuatu, yang mana sesuatu yang dimaksud
di sini adalah Masjid. Sesuai dengan pengertian tersebut, sekolah Srifarida
(Thailand) mempunyai budaya untuk mengadakan I’tikaf selama 10 hari terakhir
bulan Ramadhan, suatu hal yang sangat baik dan berbeda dengan kebudayaan
I’tikaf di Indonesia. Yang mana jikalau kebudayaan di Indonesia beri’tikaf pada
umumnya hanya di lakukan beberapa jam di waktu malam saja, akan tetapi di sini
(Srifarida) melakukan I’tikaf selama 10 hari berturut-turut didalam masjid dan
tidak boleh pulang kerumah.
Semua kegiatan sehari-hari harus dilakukan di Masjid dan prioritas utama
adalah Ibadah. Selama 10 hari terakhir ini kita benar-benar bisa mendekatkan
diri kepada Allah karena memang kita diharuskan untuk menetap di Rumah Allah
(masjid).
Daftar Rujukan