Indahnya Ramadhan di Srifarida

ABSTRAK
Ramadhan adalah bulan penuh kemuliaan, yang mana setiap orang akan berlomba-lomba untuk memperbanyak ibadah karena memang setiap ibadah yang dilakukan dalam bulan ramadhan akan dilipat gandakan. Diantara amalan yang dianjurkan ketika bulan Ramadhan tiba ialah I’tikaf. I’tikaf adalah berdiam diri atau tetap di atas sesuatu, yang mana sesuatu yang dimaksud di sini adalah Masjid. Sesuai dengan pengertian tersebut, sekolah Srifarida (Thailand) mempunyai budaya untuk mengadakan I’tikaf selama 10 hari terakhir bulan Ramadhan, suatu hal yang sangat baik dan berbeda dengan kebudayaan I’tikaf di Indonesia. Yang mana jikalau kebudayaan di Indonesia beri’tikaf pada umumnya hanya di lakukan beberapa jam di waktu malam saja, akan tetapi di sini (Srifarida) melakukan I’tikaf selama 10 hari berturut-turut didalam masjid dan tidak boleh pulang kerumah. Semua kegiatan sehari-hari harus dilakukan di Masjid dan prioritas utama adalah Ibadah. Selama 10 hari terakhir ini kita benar-benar bisa mendekatkan diri kepada Allah karena memang kita diharuskan untuk menetap di Rumah Allah (masjid).
            Kata Kunci: Ramadhan, I’tikaf, Budaya, Islam

1.      Pendahuluan
Ramadhan adalah bulan penuh kemuliaan, yang mana setiap orang akan berlomba-lomba untuk memperbanyak ibadah karena memang setiap ibadah yang dilakukan dalam bulan ramadhan akan dilipat gandakan. Diantara amalan yang dianjurkan ketika bulan Ramadhan tiba ialah I’tikaf. Disekolah Srifarida Baru Witya ada sebuah kebiasaan atau budaya melakasanakan I’tikaf di setiap 10 hari terakhir bulan Ramadhan.  
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat.
Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism. Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic.
Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial,norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.
Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.
Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan adalah sesuatu yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak.
Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.[1]
Dengan melihat definisi-definisi yang ada, maka kebudayaan bisa terbentuk dari Budaya keagamaan.  Di dunia ini terdapat banyak agama, salah satunya yaitu agama Islam. Diantara begitu banyaknya Budaya dalam agama Islam I’tikaf menjadi sebuah Budaya yang umum dimata masyarakat Islam Dunia.
Banyak orang tahu bahwa i’tikaf adalah berdiam diri di masjid. Namun berdiam diri seperti apakah i’tikaf itu? Apakah sekadar taffakur saja? Atau ada hal-hal lain yang harus dilakukan?  I’tikaf tidak hanya sekadar berdiam diri saja, bukan berarti seseorang yang berdiam di masjid itu artinya i’tikaf. Ada rukun-rukun yang mensyaratkan hal tersebut dikatakan i’tikaf.

2.      Pembahasan
2.1  Pengertian I’Tikaf
Dalam segi bahasa, i’tikaf berasal dari kata ’akafa-ya’kufu-ukufan yang berarti berdiam diri atau tetap di atas sesuatu. Sedangkan dalam pengertian Islam, i’tikaf berarti berdiam diri di masjid sebagai ibadah yang disunahkan untuk dikerjakan di setiap waktu. I’tikaf ini lebih diutamakan pada bulan Ramadhan, terutama 10 hari menjelang berakhirnya Ramadhan untuk memperoleh lailatul qadar, namun beri’tikaf di hari lain pun tidak akan mengurangi manfaatnya.[2]
Beberapa ulama mendefinisikan i’tikaf dengan sedikit berbeda, misalnya :
-          Maulana Muhammad Zakariyya Al-Kandahlawi dalam Fadhilah Ramadhan mengatakan bahwa i’tikaf adalah berdiam di dalam masjid  dengan niat i’tikaf.
-          Menurut Sayyid Sabiq dalam Fikih Sunnah, i’tikaf adalah menetap di suatu tempat dan berdiam diri tanpa meninggalkan tempat itu, baik untuk melakukan amal kebaikan maupun kejahatan.
-          Menurut Al-Marghainani i’tikaf adalah menetap dalam masjid yang disertai puasa dan niat i’tikaf.
-          Menurut Muhammad bin Faramuz, i’tikaf adalah menetapnya seorang laki-laki  dalam masjid, sendirian atau berjamaah, atau menetapnya seorang perempuan dalam rumahnya (ruangan khusus) dengan niat i’tikaf.[3]
I’tikaf disyariatkan berdasarkan al-Quran dan al-Hadits.
Al-Qur’an surat al-Baqarah (2): 187.
 فَاْلآَنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللهِ فَلاَ تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ آَيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ.

Artinya:  ...maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang   ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hinggga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka jangan kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertaqwa.” [QS. al-Baqarah (2):187]
Hadits riwayat Aisyah ra:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ اْلعَشَرَ اْلأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ. [رواه مسلم]

Artinya: “Bahwa Nabi saw melakukan i’tikaf pada hari kesepuluh terakhir dari bulan Ramadhan, (beliau melakukannya) sejak datang di Madinah sampai beliau wafat, kemudian istri-istri beliau melakukan i’tikaf setelah beliau wafat.” [HR. Muslim][4]

2.2  Waktu dan Tempat pelaksanaan I’tikaf
I’tikaf sangat dianjurkan dilaksanakan setiap waktu di bulan Ramadhan. Di kalangan para ulama terdapat perbedaan tentang waktu pelaksanaan i’tikaf, apakah dilaksanakan selama sehari semalam (24 jam) atau boleh dilaksanakan dalam beberapa waktu (saat). Al-Hanafiyah berpendapat bahwa i’tikaf dapat dilaksanakan pada waktu yang sebentar tapi tidak ditentukan batasan lamanya, sedang menurut al-Malikiyah i’tikaf dilaksanakan dalam waktu minimal satu malam satu hari.
Dengan memperhatikan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa i’tikaf dapat dilaksanakan dalam beberapa waktu tertentu, misal dalam waktu 1 jam, 2 jam, 3 jam dan seterusnya, dan boleh juga dilaksanakan dalam waktu sehari semalam (24 jam).
Di dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 187 dijelaskan bahwa i’tikaf dilaksanakan di masjid. Di kalangan para ulama ada pebedaan pendapat tentang masjid yang dapat digunakan untuk pelaksanaan i’tikaf, apakah masjid jami’ atau masjid lainnya. Sebagian berpendapat bahwa masjid yang dapat dipakai untuk pelaksanaan i’tikaf adalah masjid yang memiliki imam dan muadzin khusus, baik masjid tersebut digunakan untuk pelaksanaan salat lima waktu atau tidak. Hal ini sebagaimana dipegang oleh al-Hanafiyah (ulama Hanafi). Sedang pendapat yang lain mengatakan bahwa i’tikaf hanya dapat dilaksanakan di masjid yang biasa dipakai untuk melaksanakan salat jama’ah. Pendapat ini dipegang oleh al-Hanabilah (ulama Hambali).
Menurut hemat kami masjid yang dapat dipakai untuk melaksanakan i’tikaf sangat diutamakan masjid jami (masjid yang biasa digunakan untuk melaksanakan salat Jum’at) , dan tidak mengapa i’tikaf dilaksanakan di masjid biasa.[5]
2.3  Cara Beri’tikaf
Beri’tikaf sendiri tidaklah hanya sekadar duduk diam di masjid.  Seperti ibadah yang lain, i’tikaf pun ada cara-caranya seperti yang diajarkan Rasullah.
a.       Niat melakukan i’tikaf harus karena Allah SWT.  Misalnya mengucapkan : aku berniat i’tikaf karena Allah ta’ala
نويت الاعتكاف لله تعالى
b.      Saat melakukan i’tikaf bukan berarti kita diam saja dan pikiran kita melayang ke segala arah, namun i’tikaf diisi dengan dzikir, tafakkur, membaca doa, bertasbih, dan memperbanyak membaca Al-Quran.
c.       I’tikaf diutamakan dilakukan setelah shalat subuh seperti hadist :
وعنها رضى الله عنها قالت كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا أراد أن يعتكف صلى الفجر ثم دخل معتكفة "ـ متفق عليه
"Dan dari Aisyah ra, ia berkata bahwasannya Nabi saw. apabila hendak ber-I'tikaf beliau shalat subuh kemudian masuk ke tempat I'tikaf." (H.R. Bukhori, Muslim)
d.      Menjauhkan diri dari segala perbuatan yang tidak berguna.
2.4  Manfaat
I’tikaf tentu saja memiliki manfaat yang sangat besar bagi yang melakukannya. Disadari atau tidak, manfaat tersebut akan dirasakan oleh yang melakukan i’tikaf. Beberapa manfaat i’tikaf :
1.      Mendidik kita lebih taat kepada Allah SWT.
2.      Akan mudah memerangi hawa nafsu karena seseorang yang berada di masjid akan merasa lebih waspada di tempat ibadah.
3.      Masjid adalah merupakan semacam madrasah, berada di dalamnya untuk beri’tikaf sudah tentu akan membuat hati kita lebih suci dari hal-hal kotor.
4.      Bila dilakukan saat bulan Ramadhan, maka masjid merupakan tempat yang paling baik mendapatkan lailatul qadar.
5.      Sebagai wadah kita dalam merenungi masa lalu dan memikirkan masa depan lebih baik.
6.      Mendatangkan ketenangan dan menerangi hati yang penuh dosa.
7.      Mendatangkan kebaikan Allah SWT.  Aaaln kita insyaallah diangkat dengan rahmat dan kasih sayang-Nya.
8.      Terbiasa melakukan shalat lima waktu berjamaah tempat waktu karena berada di masjid.
9.      Melatih diri untuk meninggalkan kesibukan dunia demi memenuhi panggilan Allah SWT.
10.  Melatih diri untuk meninggalkan kesenagan jasmani sehingga hati bertambah khusyuk saat beribadah.
11.  Melatih diri dalam meluangkan waktu untuk berdoa, membaca Al-Quran dan berdzikir dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik.
12.  Merupakan waktu yang tepat untuk bertaubat.


2.5  I’tikaf di Masjid Srifarida Baru Witya School
Seperti yang telah dipaparkan di atas bahwa I’tikaf adalah berdiam diri atau tetap di atas sesuatu, yang mana sesuatu yang dimaksud di sini adalah Masjid. Sesuai dengan pengertian tersebut, sekolah Srifarida (Thailand) mempunyai budaya untuk mengadakan I’tikaf selama 10 hari terakhir bulan Ramadhan, suatu hal yang sangat baik dan berbeda dengan kebudayaan I’tikaf di Indonesia. Yang mana jikalau kebudayaan di Indonesia beri’tikaf pada umumnya hanya di lakukan beberapa jam di waktu malam saja, akan tetapi di sini (Srifarida) melakukan I’tikaf selama 10 hari berturut-turut didalam masjid dan tidak boleh pulang kerumah.
Semua kegiatan sehari-hari harus dilakukan di Masjid dan prioritas utama adalah Ibadah. Selama 10 hari terakhir ini kita benar-benar bisa mendekatkan diri kepada Allah karena memang kita diharuskan untuk menetap di Rumah Allah (masjid).
Dengan memperhatikan beberapa ayat dan hadis Nabi Saw., ada beberapa amalan (ibadah) yang dapat dilaksanakan oleh orang yang melaksanakan i’tikaf, yaitu;
a.       Melaksanakan salat sunat, seperti salat tahiyatul masjid, salat lail dan lain-lain
b.      Membaca al-Qur’an dan tadarus al-Qur’an
c.       Berdzikir dan berdo’a
d.      Membaca buku-buku agama
e.       Lampu masjid harus redup dalam rangka kekhusyu’an beri’tikaf, bukan sesuatu yang harus dilaksanakan ketika i’tikaf karena tidak ada dalil khusus yang menjelaskan tentang hal tersebut.
I’tikaf harus dilakukan di masjid. I’tikaf di dalam masjid juga dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun istri-istri beliau, sama sekali tidak pernah dilakukan di rumah. Ibnu Hajarrahimahullah berkata, “Para ulama sepakat bahwa disyaratkan melakukan i’tikaf di masjid.” [6] Wanita pun boleh melakukan i’tikaf sebagaimana laki-laki. I’tikaf tidak sah jika dilakukan selain di masjid.

Wanita juga boleh beri’tikaf.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan istri beliau untuk beri’tikaf.  ‘Aisyahradhiyallahu ‘anha berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلميَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ ، وَإِذَا صَلَّى الْغَدَاةَ دَخَلَ مَكَانَهُ الَّذِى اعْتَكَفَ فِيهِ – قَالَ – فَاسْتَأْذَنَتْهُ عَائِشَةُ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa beri’tikaf pada Bulan Ramadhan. Apabila selesai shalat shubuh, beliau masuk ke tempat khusus i’tikaf beliau. Dia (Yahya bin Sa’id) berkata: Kemudian ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha meminta izin untuk bisa melakukan I’tikaf bersama beliau, maka beliau pun mengizinkannya.”[14]
Dari ‘Aisyah, ia berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلمكَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan i’tikaf pada sepuluh hari terakhir Bulan Ramadhan hingga wafatnya, kemudian isteri-isteri beliau pun beri’tikaf setelah kepergian beliau.”
Perempuan juga boleh melakukan i’tikaf.
Namun wanita boleh beri’tikaf di masjid asalkan memenuhi 2 syarat:
1)      Meminta izin suami
2)      Tidak menimbulkan fitnah (godaan bagi laki-laki) sehingga wanita yang i’tikaf harus benar-benar menutup aurat dengan sempurna dan juga tidak memakai wewangian.[16]
Lama waktu berdiam di masjid
Para ulama sepakat, tidak ada batasan waktu maksimal melakukan i’tikaf. Namun mereka berselisih pendapat berapa waktu minimal untuk dikatakan sudah beri’tikaf.
Bagi ulama yang mensyaratkan i’tikaf harus disertai puasa, waktu minimalnya adalah sehari. Ulama lainnya mengatakan, dibolehkan kurang dari sehari, namun tetap disyaratkan berpuasa.
Imam Malik mensyaratkan minimal 10 hari. Imam Malik  juga memiliki pendapat lainnya, minimal 1-2 hari. Sedangkan bagi ulama yang tidak mensyaratkan puasa, maka waktu minimal dikatakan telah beri’tikaf adalah selama ia sudah berdiam di masjid dan di sini tanpa dipersyaratkan harus duduk.
Yang tepat dalam masalah ini adalah i’tikaf tidak dipersyaratkan untuk puasa, hanya disunnahkan. Menurut mayoritas ulama, i’tikaf tidak ada batasan waktu minimalnya, artinya boleh cuma sesaat di malam atau pada siang hari.
Al Mardawi rahimahullah mengatakan, “Waktu minimal dikatakan i’tikaf pada i’tikaf yang sunnah atau i’tikaf yang mutlak adalah selama disebut berdiam di masjid (walaupun hanya sesaat).”
Yang membatalkan i’tikaf
  • Keluar masjid tanpa alasan syar’i, dan tanpa ada kebutuhan yang mubah yang mendesak.
  • Jima’ (bersetubuh) dengan istri (berdasarkan Surat Al Baqarah ayat 187). Ibnul Mundzir telah menukil adanya ijma’ (kesepakatan ulama) bahwa yang dimaksud mubasyaroh dalam Surat Al Baqarah ayat 187 adalah jima’ (hubungan intim).
Yang dibolehkan saat i’tikaf
  • Keluar masjid karena ada hajat yang mesti ditunaikan, seperti keluar untuk makan, minum, dan hajat lain yang tidak bisa dilakukan di dalam masjid.
  • Melakukan hal-hal mubah seperti mengantar orang yang mengunjunginya sampai pintu masjid atau bercakap-cakap dengan orang lain.
  • Istri mengunjungi suami yang beri’tikaf dan berdua-duaan dengannya.
  • Mandi dan berwudhu di masjid.
  • Membawa kasur untuk tidur di masjid.
Mulai masuk dan keluar masjid untuk i’tikaf
Jika ingin beri’tikaf selama 10 hari terakhir Bulan Ramadhan, maka seseorang yang beri’tikaf mulai memasuki masjid setelah shalat shubuh pada hari ke-21, dan keluar setelah shalat shubuh pada hari ‘Idul Fitri menuju lapangan. Hal ini dijelaskan dalam hadits ‘Aisyah, di mana ia berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلميَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ ، وَإِذَا صَلَّى الْغَدَاةَ دَخَلَ مَكَانَهُ الَّذِى اعْتَكَفَ فِيهِ – قَالَ – فَاسْتَأْذَنَتْهُ عَائِشَةُ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan. Apabila selesai shalat shubuh, beliau masuk ke tempat khusus i’tikaf beliau. Dia (Yahya bin Sa’id) berkata: Kemudian ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha meminta izin untuk bisa beri’tikaf bersama beliau, maka beliau mengizinkannya.” [24]
Namun para ulama madzhab menganjurkan untuk memasuki masjid menjelang matahari tenggelam pada hari ke-20 Ramadhan. Mereka mengatakan, yang namanya 10 hari terakhir yang dimaksudkan adalah jumlah bilangan malam, sehingga seharusnya dimulai dari awal malam.

3.      Penutup
Dalam segi bahasa, i’tikaf berasal dari kata ’akafa-ya’kufu-ukufan yang berarti berdiam diri atau tetap di atas sesuatu. Sedangkan dalam pengertian Islam, i’tikaf berarti berdiam diri di masjid sebagai ibadah yang disunahkan untuk dikerjakan di setiap waktu. I’tikaf ini lebih diutamakan pada bulan Ramadhan, terutama 10 hari menjelang berakhirnya Ramadhan untuk memperoleh lailatul qadar, namun beri’tikaf di hari lain pun tidak akan mengurangi manfaatnya.
Seperti yang telah dipaparkan di atas bahwa I’tikaf adalah berdiam diri atau tetap di atas sesuatu, yang mana sesuatu yang dimaksud di sini adalah Masjid. Sesuai dengan pengertian tersebut, sekolah Srifarida (Thailand) mempunyai budaya untuk mengadakan I’tikaf selama 10 hari terakhir bulan Ramadhan, suatu hal yang sangat baik dan berbeda dengan kebudayaan I’tikaf di Indonesia. Yang mana jikalau kebudayaan di Indonesia beri’tikaf pada umumnya hanya di lakukan beberapa jam di waktu malam saja, akan tetapi di sini (Srifarida) melakukan I’tikaf selama 10 hari berturut-turut didalam masjid dan tidak boleh pulang kerumah.
Semua kegiatan sehari-hari harus dilakukan di Masjid dan prioritas utama adalah Ibadah. Selama 10 hari terakhir ini kita benar-benar bisa mendekatkan diri kepada Allah karena memang kita diharuskan untuk menetap di Rumah Allah (masjid).



Daftar Rujukan

Budaya, http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya, diakses pada 11 Agustus 2014
Cita, I’tikaf   Pengertian dan Manfaatnya, dalam http: //  I’tikaf   Pengertian dan Manfaatnya - Lebaran.com.htm, diakses pada 11 agustus 2014
http:// I’tikaf Menurut Al Qur'an dan Hadis   Sang Pencerah.htm, diakses pada 11 Agustus 2014




[1] Budaya, http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya, diakses pada 11 Agustus 2014
[2] Cita, I’tikaf   Pengertian dan Manfaatnya, dalam http: //  I’tikaf   Pengertian dan Manfaatnya - Lebaran.com.htm, diakses pada 11 agustus 2014
[3] Ibid.
[4] http:// I’tikaf Menurut Al Qur'an dan Hadis   Sang Pencerah.htm, diakses pada 11 Agustus 2014
[5] Ibid.